ILMU
TAUHID :
MENYELAMI SIFAT 20
SIFAT-SIFAT KETUHANAN
Adapun yang wajib bagi Ketuhanan itu
bersifat dengan empat sifat:
1. Sifat Nafsiyah, yaitu Wujud
2. Sifat Salbiyah yaitu, Qidam,
Baqa, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniat
3. Sifat Ma’ani, yaitu, Qudrat,
Iradat, Ilmu, Hayat, Sami’, Bashir dan Kalam
4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu Qadirun,
Muridun, ‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan Muttaqalimuun
Dibahagi lagi menjadi dua sifat
(Pendekatan secara nafi dan isbat)
1. Sifat Istighna’ yaitu, Wujud,
Qidam, Baqa, Mukhalafatuhulilkhawadits, Qiyamuhu binafsihi, Sami’, Bashir,
Kalam, Sami’un, Bashirun dan Muttaqallimun
2. Sifat Iftikor, yaitu Qudrat,
Iradat, Ilmu, Hayat, Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan Wahdaniah
Bagian I: Sifat Nafsiyah:
Wujud, artinya ada, yang ada itu
dzat Allah Ta’ala, lawannya ‘Adum, artinya tiada yaitu mustahil tiada diterima
oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada karena jikalau Allah
Ta’ala itu tiada niscaya tiadalah perobahan pada alam ini. Alam ini jadilah
statis (tak ada masa, rasa dll), dan tiadalah diterima ‘aqal jika semua itu
(perobahan) terjadi dengan sendirinya.
Jikalau alam ini jadi dengan
sendirinya niscaya jadilah bersamaan pada suatu pekerjaan atau berat salah satu
maka sekarang alam ini telah nyata adanya sebagaimana yang kita lihat sekarang
ini dan teratur tersusun segala pekerjaannya maka menerimalah aqal kita wajib
adanya Allah Ta’ala dan mustahil lawannya tiada. Adapun dalilnya yaitu
firmannya dalam Al Qur’an:
Allahu kholiqu kullu syai’in
artinya, Allah Ta’ala jualah yang
menjadikan tiap-tiap sesuatu.
Adapun Wujud itu sifat Nafsiyah ada
itulah dirinya hak Ta’ala. Adapun ta’rif sifat nafsiyah itu: Hiya huwa wala
hiya ghoiruku, artinya, sifat inilah dzat hak Ta’ala, tiada ia lain daripadanya
yakni sifat pada lafadz dzat pada makna
Adapun Hakikat sifat nafsiyah itu :
Hiya lhalul wajibatu lizzati maadaamati azzatu ghoiru mu’alalahi bi’illati,
artinya: hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu tiada dikarenakan dengan
suatu karena yakni adanya yaitu tiada karena jadi oleh sesuatu dan tiada Ia
terjadi dengan sendirinya dan tiada Ia menjadikan dirinya sendiri dan tiada Ia
berjadi-jadian.
Adapun Wujud itu dikatakan sifat
Nafsiyah karena wujud menunjukkan sebenar-benar dirinya dzat tiada lainnya dan
tiada boleh dipisahkan wujud itu lain daripada dzat seperti sifat yang
lain-lain.
Adapun Wujud itu tiga bahagi:
1. Wujud Haqiqi, yaitu dzat Allah
Ta’ala maka wujud-Nya itu tiada permulaan dan tiada kesudahan maka wujud itu
bersifat Qadimdan Baqa’, inilah wujud sebenarnya
2. Wujud Mujazi, yaitu dzat segala
makhluk maka wujudnya itu ada permulaan dan ada kesudahan tiada bersifat Qadim
dan Baqa’, sebab wujudnya itu dinamakan wujud Mujazi karena wujudnya itu
bersandarkan Qudrat Iradat Allah Ta’ala
3. Wujud ‘Ardy, yaitu dzat ‘Arodul
wujud maka wujudnya itu ada permulaan dan tiada kesudahan seperti ruh, syurga,
neraka, Arasy, Kursi dan lain-lain
Adapun yang Mawujud selain Allah
Ta’ala dua bahagi
1. Mawujud dalam ‘alam sahadah,
yaitu yang di dapat dengan khawas yang lima seperti langit, bumi, kayu,
manusia, binatang dan lain-lain
2. Mawujud didalam ‘alam ghaib yang
tiada didapat dengan khawas yang lima tetapi didapat dengan nur iman dan Kasaf
kepada siapa-siapa yang dikaruniakan Allah Ta’ala seperti Malaikat, Jin,
Syaitan, Nur dan lain-lain.
Adapun segala yang Mawujud itu lima
bahagi:
1. Mawujud pada Zihin yaitu ada pada
‘aqal
2. Mawujud pada Kharij yaitu ada
kenyataan bekas
3. Mawujud pada Khayal yaitu seperti
bayang-bayang dalam air atau yang didalam mimpi
4. Mawujud pada Dalil yaitu ada pada
dalil seperti asap tanda ada api
5. Mawujud pada Ma’rifat yaitu
dengan pengenalan yang putus tiada dapat diselingi lagi terus Ia Ma’rifat
kepada Allah Ta’ala
Membicarakan Wujud-Nya dengan jalan
dalil:
1. Dalil yang didapat dari Khawas
yang lima tiada dapat didustakan
2. Dalil yang didapat dari Khabar
Mutawatir tiada dapat didustakan
3. Dalil yang didapat daripada ‘Aqal
tiada dapat didustakan
4. Dalil yang didapat daripada
Rasulullah tiada dapat didustakan
5. Dalil yang didapat daripada
firman Allah Ta’ala tiada dapat didustakan
Bagian II: Sifat
Salbiyah
Adapun hakikat sifat Salbiyah itu:
wahiya dallat ‘alallafiy maalaa khaliyqu billahi ‘aza wajalla, artinya barang
yang menunjukkan atas menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada
dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala yaitu lima sifat:
1. QIDAM, artinya Sedia
2. BAQA’ artinya Kekal,
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITS artinya
Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya
Berdiri Allah Ta’ala dengan sendiriNya.
5. WAHDANIAH, artinya Esa
1. QIDAM, artinya Sedia
Adapun hakikat Qidam ibarat dari
menafikan ada permulaan bagi Wujud-Nya yakni tiada permulaan, lawannya Hudusy
artinya baharu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia
baharu karena jikalau Ia baharu niscaya jadilah Wujud-Nya itu wujud yang harus,
tiadalah Ia wajibal wujud maka sekarang telah terdahulu wajibal wujud baginya
maka menerimalah aqal kita wajib baginya bersifat Qadim dan mustahil lawannya
baharu , adapun dalilnya firmannya dalam Al Qur’an: huwal awwalu, artinya Ia
juga yang awal.
Adapun Qadim nisbah pada nama empat
perkara:
a. Qadim Haqiqi, yaitu dzat Allah
Ta’ala
b. Qadim Sifati, yaitu sifat Allat
Ta’ala
c. Qadim Idofi, yaitu Qadim yang
bersandar seperti dahulu bapa daripada anak
d. Qadim Zamani, yaitu masa yang
telah lalu sekurang-kurangnnya setahun
2. BAQA’ artinya Kekal
Adapun hakikat Baqa’ itu ibarat
menafikan ada kesudahan bagi Wujud-Nya, yakni tiada kesudahan, lawannya Fana’
artinya binasa yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia
binasa, jikalau Ia binasa jadilah Wujud-Nya itu wujud yang baharu, apabila Ia
baharu tiadalah Ia bersifat Qadim maka sekarang telah terdahulu bagi-Nya wajib
bersifat Qadim maka menerimalah aqal kita wajib bagi-Nya bersifat Baqa dan
mustahil lawannya binasa, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wayabqo
wajhu robbikauzuljalali wal ikrom, artinya kekal dzat Tuhan kamu yang mempunyai
Kebesaran dan Kemuliaan.
Adapun yang Kekal itu dua bahagi:
a. Kekal Haqiqi, yaitu dzat dan
sifat Allah Ta’ala
b. Kekal Ardy, yaitu kekal yang
dikekalkan, menerima hukum binasa jikalau dibinasakan Allah Ta’ala, karena ia
sebahagian daripada mumkinun, tetapi tiada dibinasakan maka kekallah ia, maka
kekalnya itu dinamakan kekal ‘Ardy, seperti ruh, arasy, kursi, kalam, lauh
mahfudh, surga, neraka, bidadari dan telaga nabi.
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITSI
artinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu
Adapun Hakikat Mukhalafatuhulilhawadits
itu diibaratkan menafikan dzat dan sifat dan af’al Allah Ta’ala dengan segala
sesuatu yang baharu, yakni tiada bersamaan dengan segala yang baharu, lawannya
Mumassalatuhulilhawadits, artinya bersamaan dengan segala sesuatu yang baharu.
Tiada diterima oleh aqal dikatakan Allah Ta’ala itu bersamaan dzat-Nya dan
sifat-Nya dan af’al-Nya dengan segala yang baharu, karena jikalau bersamaan
dengan segala yang baharu maka tiadalah Ia bersifat Qadim dan Baqa’, sebab
segala yang baharu menerima hukum binasa, maka sekarang telah terdahulu wajib
bagi Allah Ta’ala bersifat Qadim dan Baqa’, maka menerimalah aqal kita wajib
bagi Allah Ta’ala bersifat mukhalafatuhulilhawadits, dan mustahil lawannya
Mumasalatu lilhawadits, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
laisa kamislihi syaiin wa
huwassami’ul bashir, artinya tiada seumpama Allah Ta’ala dengan segala sesuatu
dan Ia mendengar dan melihat.
Adapun bersalahan dzat Allah Ta’ala
dengan dzat yang baharu karena dzat Allah Ta’ala bukan jirim atau jisim dan
bukan jauhar atau ‘aradh dan tiada dijadikan, tiada bertempat, tiada berjihat,
tiada bermasa atau dikandung masa dan tiada beranak atau diperanakkan.
Bersalahan sifat Allah Ta’ala dengan
sifat yang baharu karena sifat Allah Ta’ala Qadim dan ‘Aum takluknya, seperti
Sami’ Allah Ta’ala takluk pada segala yang mawujud.
Adapun sifat yang baharu itu tiada
ia Qadim dan tiada ‘Aum takluknya, tetapi takluk pada setengah perkara jua
seperti yang baharu mendengar ia pada yang berhuruf dan bersuara dan yang tiada
berhuruf dan bersuara tiada ia mendengar atau yang jauh atau yang tersembunyi
seperti gerak-gerak yang dalam hati dan begitu jua sifat-sifat yang lain tiada
serupa dengan sifat Allah Ta’ala.
Adapun bersalahan perbuatan Allah
Ta’ala dengan perbuatan yang baharu karena perbuatan Allah Ta’ala itu memberi
bekas dan tiada dengan alat perkakas dan tiada dengan minta tolong dan tiada
mengambil faedah dan tiada yang sia-sia.
Adapun perbuatan yang baharu tiada
memberi bekas dan dengan alat perkakas atau dengan minta tolong dan mengambil
faedah.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya
Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya
Adapun hakikat Qiyamuhu binafsihi
itu ibarat daripada menafikan berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak
kepada yang menjadikan dia, yakni tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan
tiada berkehendak kepada yang menjadikannya.
Mustahil tiada diterima oleh aqal
sekali-kali dikatakan tiada berdiri dengan sendiriNya, karena Ia zat bukan
sifat, jikalau Ia sifat, maka berkehendak kepada tempat berdiri karena sifat
itu tiada boleh berdiri dengan sendirinya.
Dan tiada berkehendak kepada yang
menjadikan Ia karena Ia Qadim, jikalau berkehendak Ia kepada yang menjadikan
Dia, maka jadilah Ia baharu, apabila ia baharu tiadalah ia bersifat Qadim dan
Baqa’ dan Mukhalafatuhulilhawadits.
Maka sekarang menerimalah aqal kita,
wajib diterima oleh aqal, bagi Allah Ta’ala itu bersifat Qiyamuhubinafsihi dan
mustahil lawannya An-laayakuunu ko’imambinafsihi, adapun dalilnya firman-Nya
dalam Al Qur’an: Innallaha laghniyyun ‘anil ‘alamiin, artinya Allah Ta’ala itu
terkaya daripada sekalian alam.
Adapun segala yang Mawujud menurut
berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia
itu empat bahagi:
a. Tiada berkehendak kepada yang
menjadikan Dia dan tiada berkehendak kepada tempat berdiri, yaitu zat Allah
Ta’ala
b. Berdiri pada zat Allah Ta’ala dan
tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia, yaitu sifat Allah Ta’ala
c. Tiada berkehendak kepada tempat
berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala jirim yang
baharu
d. Berkehendak kepada tempat berdiri
dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala ‘aradh yang baharu
5. WAHDANIAH, artinya Esa
Adapun hakikat Wahdaniah itu ibarat
menafikan kammuttasil (berbilang-bilang atau bersusun-susun atau
berhubung-hubung) dan kammumfasil (bercerai-cerai banyak yang serupa) pada zat,
pada sifat, dan pada af’al.
Lawannya An-yakunu wahidan, artinya
tiada ia esa. Mustahil tiada diterima oleh akal sekali-kali dikatakan tiada Ia
Esa, karena jikalau tiada Ia Esa tiadalah ada alam ini karena banyak yang
memberi bekas.
Seperti dikatakan ada dua atau tiga
tuhan, kata tuhan yang satu keluarkan matahari dari barat, dan kata tuhan yang
satu lagi keluarkan dari timur, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari
utara atau selatan, karena tiga yang memberi bekas. Tentu kalau tuhan yang satu
itu mengeluarkan matahari itu dengan sekehendakknya umpamanya disebelah barat,
tentu pula tuhan yang lain meniadakkannya dan mengadakan lagi menurut
kehendaknya umpamanya disebelah timur atau utara atau selatan, karena tiga-tiga
tuhan itu berkuasa mengadakan dan meniadakan maka kesudahannya matahari itu
tiada keluar.
Maka sekarang kita lihat dengan mata
kepala kita sendiri bagaimana keadaan atau perjalanan didalam alam ini semuanya
teratur dengan baiknya maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal Wahdaniah
bagi Allah Ta’ala dan mustahil lawannya berbilang-bilang atau bercerai-cerai.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al
Qur’an: Qul huwallahu ahad, artinya katakanlah oleh mu (Muhammad) Allah Ta’ala
itu Esa, yakni Esa zat dan Esa sifat dan Esa Af’al.
Adapun Wahdaniah pada zat menafikan
dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu
menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun seperti dikatakan zat Allah
Ta’ala itu berdarah, berdaging dan bertulang urat, atau dikatakan zat Allah
Ta’ala itu kejadian daripada anasir yang empat.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu
menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa, umpama dikatakan ada
zat yang lain seperti zat Allah Ta’ala yakni tiada sekali-kali seperti yang
demikian itu.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil
itulah yang hendak kita nafikan pada zat Allah Ta’ala, apabila sudah kita
nafikan yang dua perkara ini maka barulah dikatakan Ahadiyyatuzzat, yakni Esa
dzat Allah Ta’ala.
Adapun Wahdaniah pada sifat
menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu
menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun sifat, seperti dikatakan ada
pada Allah Ta’ala dua Qudrat atau dua Ilmu atau dua Sami’ yakni tiada
sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu
menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa seperti dikatakan ada
Qudrat yang lain atau Ilmu yang lain seperti Qudrat dan Ilmu Allah Ta’ala.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil
inilah yang hendak kita nafikan pada sifat Allah Ta’ala, apabila sudah kita
nafikan yang dua itu maka baharulah dikatakan Ahadiyyatussifat, yakni Esa sifat
Allah Ta’ala.
Adapun Wahdaniah pada af’al
menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu
menafikan berhubung atau minta tolong memperbuat suatu perbuatan, seperti
dikatakan Allah Ta’ala jadikan kuat pada nasi mengenyangkan dan kuat pada air
menghilangkan dahaga dan kuat pada api membakar dan kuat pada tajam memutuskan
yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu
menafikan bercerai-cerai banyak perbuatan yang memberi bekas, seperti dikatakan
ada perbuatan yang lain memberi bekas seperti perbuatan Allah Ta’ala, yakni
tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil
inilah yang hendak kita nafikan pada af’al Allah Ta’ala, apabila sudah kita
nafikan yang dua ini maka baharulah kita dikatakan Ahadiyyatull af’al, yakni
Esa perbuatan Allah Ta’ala.
Bagian III: Sifat
Ma’ani
Adapun hakikat sifat Ma’ani itu:
wahiya kullu sifatu maujudatun qo’imatun bimaujuudatun aujabat lahu hukman,
artinya tiap-tiap sifat yang berdiri pada yang maujud (wajibalwujud / zat Allah
Ta’ala) maka mewajibkan suatu hukum (yaitu Ma’nawiyah)
Sifat Ma’ani ini maujud pada zihin
dan maujud pula pada kharij, ada tujuh perkara:
1. QUDRAT artinya Kuasa, Takluk pada
segala mumkinun
2. IRADAT artinya Menentukan, takluk
pada segala mumkinun
3. ILMU artinya Mengetahui, takluk
pada segala yang wajib, mustahil dan ja’iz bagi aqal.
4. HAYAT artinya Hidup, tiada
takluk, tetapi syarat bagi aqal kita menerima adanya sifat-sifat yang lain.
5. SAMA’ artinya Mendengar, takluk
pada segala yang maujud.
6. BASYAR artinya Melihat, takluk
pada segala yang maujud.
7. KALAM artinya Berkata-kata
1. Qudrat artinya Kuasa
Adapun hakikat Qudrat itu yaitu satu
sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka
dengan Dia mengadakan dan meniadakan bagi segala mumkin muafakat dengan
Iradat-Nya. Adapun arti mumkin itu barang yang harus adanya atau tiadanya
Adapun mumkin itu empat bahagi:
a. Mumkin Maujuud ba’dal ‘adum,
yaitu mumkin yang pada masa sekarang, dahulu tiada, seperti: langit, bumi dan
kita semuanya.
b. Mumkin Ma’dum ba’dal wujud, yaitu
mumkin yang tiada pada masa sekarang ini dahulunya ada, seperti: nabi Adam as,
dan datok-datok nenek kita yang sudah tiada.
c. Mumkin sayuzad, yaitu mumkin yang
akan datang seperti hari kiamat, syurga dan neraka.
d. Mumkin Ilmu Allah annahu
lamyujad, yaitu mumkin yang didalam Ilmu Allah Ta’ala, tetapi tiada dijadikan seperti
hujan emas, Air laut rasanya manis, dan banyak yang lain lagi.
Lawannya ‘Ujdzun artinya lemah,
yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu
lemah, karena jikalau Ia lemah niscaya tiadalah ada alam ini karena yang lemah
itu tiada dapat memperbuat suatu perbuatan. Maka sekarang alam ini telah nyata
adanya bagaimana yang kita lihat sekarang ini, maka menerimalah aqal kita wajib
diterima aqal, bagi-Nya bersifat Qudrat dan mustahil lawannya ‘Ujdzun.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al
Qur’an: wallahu ‘ala kulli sai’in-qodir, artinya Allah Ta’ala itu berkuasa atas
tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Qudrat itu
difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa
yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah
Ta’ala.
* Qudrat Allah Ta’ala Qadim atau
sedia, tiada diawali dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala Baqa’ atau
Kekal, tiada diakhiri dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu
Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari
sekalian misal.
* Qudrat Allah Ta’ala itu
Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada
sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu
Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada
kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
2. Iradat artinya Menentukan
Adapun hakikat Iradat itu satu sifat
yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia
menentukan sekalian mumkin adanya atau tiadanya,muafakat dengan Ilmu-Nya.
Adapun Iradat Allah Ta’ala
menentukan enam perkara:
a. Menentukan mumkin itu Ada atau
tiadanya
b. Menentukan Tempat mumkin itu
c. Menentukan Jihat mumkin itu
d. Menentukan Sifat mumkin itu
e. Menentukan Qadar mumkin itu
f. Menentukan Masa mumkin itu
Lawannya Karahat artinya tiada
menentukan atau tiada berkehendak, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal
sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada menentukan atau tiada berkehendak,
karena jikalau tiada Ia menentukan atau tiada Ia berkehendak mengadakan alam
ini atau meniadakan alam ini niscaya tiadalah baharu (Berubah) alam ini maka
sekarang alam ini telah nyata adanya perubahan, ada siang ada malam, ada yang
datang ada yang pergi, seperti yang telah kita lihat dengan mata kepala kita
sendiri, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Iradat dan
mustahil lawannya Karahat.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al
Qur’an: fa’allu limaa yuriy d’, artinya berbuat Allah Ta’ala dengan barang yang
ditentukan-Nya.
Adapun Iradat dengan amar dan nahi
itu tiada berlazim karena:
Ada kalanya disuruh tetapi tiada
dikehendaki seperti Abu jahal, Abu lahab dan segala pengikutnya.
Ada kalanya disuruh dan dikehendaki
seperti Abu Baqa’r dan segala sahabat yang lain.
Ada kalanya tiada disuruh dan tiada
dikehendaki seperti kafir yang banyak.
Adakalanya tiada disuruh tetapi
dikehendaki seperti mengerjakan yang haram dan makruh seperti Nabi Adam as dan
Hawa.
Tetaplah dalam Hakikat Iradat itu
difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa
yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah
Ta’ala.
* Iradat Allah Ta’ala Qadim atau
sedia, tiada diawali dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala Baqa’ atau
Kekal, tiada diakhiri dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala itu
Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari
sekalian misal.
* Iradat Allah Ta’ala itu
Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada
sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
* Iradat Allah Ta’ala itu
Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada
kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
3. Ilmu artinya Mengetahui
Adapun hakikat Ilmu itu yaitu satu
sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka
dengan Dia Mengetahui pada yang wajib, pada yang mustahil, dan pada yang harus.
Adapun yang wajib itu zat dan
sifatNya, maka mengetahui Ia zatNya dan sifatNya yang Kamalat.
Adapun yang mustahil itu yaitu yang
menyekutui ketuhanannya atau yang kekurangan baginya maka mengetahui Ia tiada
yang menyekutui bagi ketuhanan-Nya dan yang kekurangan pada-Nya.
Adapun yang harus itu sekalian alam
ini maka mengetahui Ia segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala
perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi dan tiada
terdinding yang dalam Ilmu-Nya sebesar jarah jua pun, semuanya diketahui-Nya
dengan Ilmu-Nya yang Qadim
Lawannya Jahil, artinya bodoh, yaitu
mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia Jahil atau bodoh
karena jikalau ia Jahil atau bodoh niscaya tiadalah teratur atau tersusun
segala pekerjaan didalam alam ini maka sekarang alam ini telah teratur dan
tersusun dengan baiknya, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala
bersifat Ilmu dan mustahil lawannya Jahil atau bodoh.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al
Qur’an: wallahu bikulli syai’in ‘alimun, artinya Allah Ta’ala mengetahui
tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Ilmu itu
difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa
yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah
Ta’ala.
* Ilmu Allah Ta’ala Qadim atau
sedia, tiada diawali dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala Baqa’ atau
Kekal, tiada diakhiri dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala itu
Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari
sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Ilmu Allah Ta’ala itu
Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada
sesuatu.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Wahdaniyah,
atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada
bercerai dengan sifat yang lain).
4. Hayat artinya Hidup
Adapun hakikat Hayat itu satu sifat
yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia
zohirlah sifat yang lain-lain.
Lawannya maut artinya mati, yaitu
mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia mati karena jikalau
Ia mati niscaya tiadalah ada sifat yang lain seperti Qudrat, Iradat dan Ilmu
maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat hayat dan mustahil
lawannya maut.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al
Qur’an: huwal hayyuladzii laa yamuut, artinya Dia yang Hidup yang tiada mati.
Tetaplah dalam Hakikat Hayat itu
difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa
yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah
Ta’ala.
* Hayat Allah Ta’ala Qadim atau
sedia, tiada diawali dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala Baqa’ atau
Kekal, tiada diakhiri dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala itu
Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari
sekalian misal.
* Hayat Allah Ta’ala itu
Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada
sesuatu.
* Hayat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah,
atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada
bercerai dengan sifat yang lain)
5. Sami’ artinya Mendengar
Adapun hakikat Sami’ itu yaitu satu
sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka
dengan Dia mendengar segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau
Muhadas.
Adapun mawujud yang Qadim yaitu dzat
dan Sifat-Nya, maka mendengar Ia akan Kalam-Nya yang tiada berhuruf dan bersuara,
dan yang muhadas yaitu sekalian alam ini maka mendengar Ia akan segala perkara
yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala
perkara yang akan diadakan lagi, maka tiada terdinding pendengarannya oleh
sebab jauh atau tersembunyi.
Lawannya Sumum, artinya pekak atau
tuli yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia pekak
atau tuli karena jikalau Ia pekak atau tuli niscaya tiadalah dapat Ia
memperkenankan seruan makhluk-Nya padahal Menyuruh Ia kepada sekalian
makhluk-Nya dengan meminta seperti firman-Nya dalam Al Qur’an: ud’uunii astajib
lakum, artinya mintalah olehmu kepadaKu niscaya Aku perkenankan.
Maka menerimalah aqal kita wajib
bagi Allah Ta’ala bersifat Sami’ dan mustahil lawannya Sumum, pekak atau tuli,
adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu sami’un ‘alimun, artinya
Allah Ta’ala itu yang mendengar dan yang mengetahui .
Tetaplah dalam Hakikat Sami’ itu
difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa
yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah
Ta’ala.
* Sami’ Allah Ta’ala Qadim atau
sedia, tiada diawali dengan pekak.
* Sami’ Allah Ta’ala Baqa’ atau
Kekal, tiada diakhiri dengan pekak.
* Sami’ Allah Ta’ala itu
Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari
sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Sami’ Allah Ta’ala itu
Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada
sesuatu.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Wahdaniyah,
atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada
bercerai dengan sifat yang lain).
6. Bashir artinya Melihat
Adapun hakikat Bashir itu satu sifat
yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia
melihat segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau muhadas.
Adapun mawujud yang Qadim itu dzat
dan sifat-Nya, maka melihat Ia akan dzat-Nya yang tiada berupa dan berwarna dan
sifat-Nya yang kamalat.
Adapun mawujud yang muhadas itu
sekalian alam ini maka melihat Ia akan segala perkara yang ada pada masa
sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang lagi akan
diadakan.
Tiada terdinding yang pada
penglihatan-Nya oleh sebab jauh atau sangat halusnya atau sangat kelamnya.
Lawannya ‘Umyun, artinya buta, yaitu
mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia buta karena jikalau
Ia buta maka jadilah Ia kekurangan. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah
Taa’la itu bersifat Bashir dan mustahil lawannya ‘Umyun atau buta
Adapun dalilnya firman-Nya dalam
AlQur’an: wallahu bashirun bimaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala itu melihat
apa yang kamu kerjakan.
Tetaplah dalam Hakikat Bashir itu
difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa
yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah
Ta’ala.
* Bashir Allah Ta’ala Qadim atau
sedia, tiada diawali dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala Baqa’ atau
Kekal, tiada diakhiri dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala itu
Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari
sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Bashir Allah Ta’ala itu
Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada
sesuatu.
* Bashir Allah Ta’ala itu
Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada
kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
7. Kalam artinya Berkata-kata
Adapun hakikat Kalam itu satu sifat
yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia
berkata-kata pada yang wajib seperti firman-Nya: fa’lam annahu laailahaillalah,
artinya ketahui oleh mu bahwasanya tiada tuhan melainkan Allah, dan berkata-kata
pada yang mustahil dengan firman-Nya: laukana fiyhima alihatun illallah
lafasadatu, artinya jikalau ada tuhan yang lain selain daripada Allah maka
binasalah segala-galanya. dan berkata pada yang harus dengan firman-Nya:
wallahu holaqokum wamaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala jua Yang menjadikan
kamu dan barang perbuatan kamu.
Lawannya Bukmum, artinya kelu atau
bisu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia bisu atau
kelu karena jikalau Ia bisu atau Kelu tiadalah dapat Ia menyuruh atau mencegah
dan menceritakan segala perkara seperti hari kiamat, syurga, neraka dan
lain-lain. Maka sekarang suruh dan cegah itu ada pada kita seperti suruh kita
sembahyang dan cegah kita berbuat ma’siat. Maka menerimalah aqal kita wajib
bagi Allah Ta’ala itu bersifat Kalam dan mustahil lawannya bukmum, kelu atau
bisu. Adapun dalilnya friman-Nya dalam Al Qur’an: wa kallamallaahu muusa
taqlimaan, artinya berkata-kata Allah Ta’ala dengan nabi Musa as dengan
sempurna kata.
Adapun Kalam Allah Ta’ala itu satu
sifat jua tiada Ia berbilang tetapi berbagi-bagi dipandang dari segi perkara
yang dikatakan-Nya apabila Ia menunjukkan kepada suruh maka dinamakan amar
seperti suruh sembahyang dan puasa dan lain-lain, jika Ia menunjukkannya kepada
cegah atau larangan maka dinamakan nahi seperti cegah berjudi., minum arak dan
lain-lain, jika Ia menunjukkan pada cerita dinamakan akhbar, seperti cerita
raja Fir’aun , Namrudz, dan lain-lain. jika Ia menunjukkan pada khabar gembira
dinamakan Wa’ad seperti balas syurga pada orang beriman dan ta’at dan
lian-lain, jika Ia menunjukkan pada khabar menakutkan maka dinamakan Wa’id,
seperti janji balas neraka dan azab bagi orang yang berbuat maksiat dan kafir.
Tetaplah dalam Hakikat Kalam itu
difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa
yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah
Ta’ala.
* Kalam Allah Ta’ala Qadim atau
sedia, tiada diawali dengan kelu.
* Kalam Allah Ta’ala Baqa’ atau
Kekal, tiada diakhiri dengan kelu.
* Kalam Allah Ta’ala itu
Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari
sekalian misal, tiada terdinding dan tiada berhuruf atau bersuara.
* Kalam Allah Ta’ala itu
Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada
sesuatu.
* Kalam Allah Ta’ala itu Wahdaniyah,
atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada
bercerai dengan sifat yang lain).
Bagian IV: Sifat
Ma’nawiyah
Adapun hakikat sifat ma’nawiyah itu:
hiyal halul wajibatu lidzati madaamati lidzati mu’allalati bi’illati, artinya
hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu dikarenakan suatu karena yaitu
Ma’ani, umpama berdiri sifat Qudrat pada dzat maka baru dinamakan dzat itu
Qadirun, artinya Yang Kuasa, Qudrat sifat Ma’ani, Qadirun sifat Ma’nawiah maka
berlazim-lazim antar sifat Ma’ani dengan sifat Ma’nawiah, tiada boleh bercerai
yaitu tujuh sifat pula:
1. QADIRUN, artinya Yang Kuasa,
melazimkan Qudrat berdiri pada dzat
2. MURIIDUN, artinya Yang Menentukan
maka melazimkan Iradat yang berdiri pada dzat
3. ‘ALIMUN, artinya Yang Mengetahui
maka melazimkan ‘Ilmu yang berdiri pada dzat
4. HAYYUN, artinya Yang Hidup
melazimkan Hayyat yang berdiri pada dzat
5. SAMI’UN, artinya Yang Mendengar
melazimkan Sami’ yang berdiri pada dzat
6. BASIRUN, artinya Yang Melihat
melazimkan Basir yang berdiri pada dzat
7. MUTTAKALLIMUN, artinya Yang
Berkata-kata melazimkan Kalam yang berdiri pada dzat
Bagian V: Sifat
Istighna
Artinya sifat Kaya, Hakikat sifat
Istighna: mustaghniyun ’angkullu maa siwahu, artinya Kaya Allah Ta’ala itu
daripada tiap-tiap yang lain.
Apabila dikatakan Kaya Allah Ta’ala
daripada tiap-tiap yang lain, maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sebelas (11)
sifat, jikalau kurang salah satu daripada sebelas (11) sifat itu maka tiadalah
dapat dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lainnya.
Adapun sifat wajib yang 11 itu
ialah:
Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatuhu
lil khawaditsi, Kiyamuhubinafsihi, Sami’, Basir, Kalam, Sami’un, Basirun dan
Muttakalimun.
Selain sebelas (11) sifat yang wajib
itu ada tiga (3) sifat yang harus (Jaiz) yang termasuk pada sifat Istighna
yaitu
1. Mahasuci dari pada mengambil
faedah pada perbuatan-Nya atau pada hukum-Nya, lawannya mengambil faedah, yaitu
mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau mengambil faedah
tiadalah Kaya Ia daripada tiap-tiap yang lainnya karena lazim diwaktu itu
berkehendak Ia pada menghasilkan hajat-Nya
2. Tiada wajib Ia menjadikan alam
ini. Lawannya wajib yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena
jikalau wajib Ia menjadikan alam ini tiadalah Ia Kaya daripada tiap-tiap yang
lainnya, karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia kepada yang menyempurnakan-Nya
3. Tiada memberi bekas suatu
daripada kainat-Nya dengan kuatnya. Lawannya memberi bekas yaitu mustahil tiada
diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau memberi sesuatu daripada
kainat-Nya dengan kuatnya tiadalah Kaya Ia pada tiap-tiap yang lainnya karena
lazim diwaktu itu berkehendak Ia mengadakan sesuatu dengan wasitoh
Bagian VI: Sifat Ifthikhor
Artinya sifat berkehendak: hakikat
sifat Ifthikhor: wamuftaqirun ilaihi kullu maa ’adaahu, artinya berkehendak
tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya.
Apabila dikatakan berkehendak
tiap-tiap yang lain kepada-Nya maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sembilan (9)
sifat, jikalau kurang salah satu daripada sembilan (9) sifat ini maka tiadalah
dapat berkehendak tiap-tiap yang lainya kepada-Nya,
Adapun sifat wajib yang sembilan (9)
itu adalah:
1. Qudrat
2. Iradat
3. Ilmu
4. Hayat
5. Qodirun
6. Muridun
7. ‘Alimun
8. Hayyun
9. Wahdaniah
Selain dari sembilan (9) sifat yang
wajib itu ada dua (2) sifat yang harus termasuk pada sifat Ifthikhor:
1. Baharu sekalian alam ini.
Lawannya Qodim yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena
jikalau alam ini Qodim tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya
karena lajim ketika itu bersamaan derejat-Nya
2. Tiada memberi bekas sesuatu
daripada kainatnya dengan tobi’at atau dzatnya. Lawannya memberi bekas yaitu
mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau memberi bekas
sesuatu daripada kainat dengan tobi’at niscaya tiadalah berkehendak tiap-tiap
yang lain kepada-Nya karena lajim ketika itu terkaya sesuatu daripadaNya.
Maka sekarang telah nyata pada kita
bahwa duapuluh delapan (28) sifat Istighna dan duapuluh dua (22) sifat
Ifthikhar maka jumlahnya jadi limapuluh (50) ‘akaid yang terkandung didalam
kalimah laa ilaha ilallaah, maka jadilah makna hakikat laa ilaha ilallaah itu
dua: laa mustaghniyun angkullu maasiwahu, artinya tiada yang kaya dari
tiap-tiap yang lainnya dan wa muftaqirun ilaihi kullu ma’adahu, artinya dan
berkehendak tiap-tiap yang lain kepadaNya.
Ini makna yang pertama maka daripada
makna yang dua itu maka jadi empat (4):
1. Wajibal wujud, yaitu yang wajib
adanya.
2. Ishiqoqul ibadah, yaitu yang
mustahak bagi-Nya ibadah
3. Kholikul ‘alam, yaitu yang
menjadikan sekalian alam
4. Maghbudun bihaqqi, yaitu yang
disembah dengan sebenar-benarnya.
Ini makna yang kedua maka daripada
makna yang empat (4) itu jadi satu (1) yaitu:
Laa ilaha ilallaah, Laa ma’budun
ilallah, artinya tiada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya melainkan Allah.
Ini makna yang ketiga penghabisan
maka jadilah kalimah laa ilaha ilallaah itu menghimpun nafi dan isbat
Adapun yang dinafikan itu sifat
Istighna’ dan sifat Ifthikhor berdiri pada yang lain dengan mengatakan: laa
ilaha dan diisbatkan sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor itu berdiri pada dzat
Allah Ta’ala dengan mengatakan kalimah Ilallaah
Laa = nafi, Ilaha = menafi, ila =
isbat, Allah = meng-isbat
Yang kedua kalimah laa ilaha
ilallaah itu nafi mengandung isbat dan isbat mengandung nafi sepeti sabda nabi
: laa yufarriqubainannafi wal-isbati wamamfarroqu bainahumaa fahuwa kaafirun,
artinya Tiada bercerai antara nafi dan isbat dan barang siapa menceraikan
kafir.
Seperti asap dengan api. Asap itu
bukan api dan asap itu tidak lain daripada api. Asap tetap asap dan api tetap
api: tetapi asap itu menunjukkan ada api inilah artinya nafi mengandung isbat
dan isbat mengandung nafi. Tiada bercerai dan tiada bersekutu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar